Sekelumit kata untuk Fikri Naufal.

 



"You are my sunshine, my only sunshine. You make me happy, when skies are grey."

 

Hai, 

Mengapa belum tidur? Bagaimana hari ini? Lelah, ya? 

Apa yang ada di pikiranmu sekarang? Mengkhawatirkan hari esok sembari mengingat potongan masa lalu? 

Ingatkah kau saat kali pertama kedua mata kita saling bertemu? Tatapan setajam elang membuat hatiku koyak-koyak dibuatnya.

Ingatkah kau saat kali pertama tangan kirimu menggandeng ibu jari tangan kananku? Menyeberangi bising jalanan ibu kota. Ah, barangkali kau tak ingat. Tak apa.

Ingatkah kau saat kali pertama kita duduk beriringan. Di bawah langit malam berbintang di sudut kota tua ditemani segerombol pengamen jalanan? 

Kau banyak bercerita. Sedang aku mendengarkan seksama. 

Kemudian semua menjadi abu-abu. Aku dengan hidupku dan kamu dengan duniamu. Dunia kelabu. Kupu-kupu berkelana entah kemana perginya. Rasa yang memudar. Hati yang patah.


Kini, di bawah senja di langit ampera. Yang merahnya berbaur dengan langit jingga. Di riak-riak alir musi. Aku menemukanmu, kembali.  

 

Kau menemukanku di saat semua begitu terasa tepat. Ketika dua hati yang saling patah pada akhirnya saling bersiap untuk saling memperbaiki.

Kelak, jangan lupakan kau pernah menemukanku tertawa kecil saat gadis kecil menyanyikan sebuah lagu konyol di tepian sungai musi. Lagi-lagi kau selalu menatapku dengan tatapan tajammu. Kemudian aku hanya bisa tersipu malu di hadapanmu.

Kelak, jangan lupakan pada sebuah malam dingin. Kau menggenggam tanganku sembari mengatakan, "kasih tahu kalau sudah siap, ya?"

Aku hanya mengangguk perlahan dengan pikiran mengawang. Hati yang bimbang. Aku mencintaimu. Sangat. Lalu apa lagi yang kau ragukan, Karin?—Matamu seolah bertanya. 

Pada akhirnya aku menjadikanmu sebagai persinggahan akhir—jika semesta membiarkan. Membiarkan tubuhmu mendekapku seolah kita akan mati satu detik lagi. 

Hai, manusia yang akan menemani hingga musim senja. Mungkin ada saatnya kita akan duduk berdua di teras belakang rumah sembari menyeruput secangkir kopi. Menyaksikan cucu-cucu kita bermain dan berlarian di bawah matahari terik matahari pagi. Kemudian bernostalgia bahwa pada masanya kita berdua juga pernah berlarian di bawah rintik hujan. Meneduh dan berandai-andai, "Apa jadinya jika kita menjadi orang yang tak punya apa-apa? Hanya kita berdua? Kau dan aku? Aku hanya punya kau dan kau hanya punya aku?

Kau boleh merutuki dirimu setiap kali kau merasa gagal. Tapi pada suatu hari nanti akan kuceritakan pada Fanny masa depan bahwa kau adalah sosok yang menakjubkan yang berhasil melawan carut-marutnya dunia. Bahwa kau berhasil membuat aku dan Fanny menjadi manusia paling bahagia di muka bumi ini. Kau adalah sosok hebat. Untukku. Untuk Fanny.

Kelak kita akan merindukan masa-masa ini. Masa ketika kita berdua belum menjadi apa dan siapa. Ketika hal-hal sederhana yang kita lakukan menjelma menjadi sebuah memori yang sayang untuk dilupakan.

Lelucon sembari makan ayam gepuk di pinggir danau Jakabaring.

Mie ayam sebelah JM.

Perdebatan Cimory dan Mizone di rooftop PTC.

Makan KFC sambil menikmati pelangi di bantaran sungai Musi.

Pelukan hangat di kala senja.

dan... kecupan manis di bawah gemerlap jembatan Ampera.

Kau akan membuatku jatuh cinta berkali-kali. Perasaan yang pernah terpendam kemudian mencuat kembali perlahaan ke permukaan.

Pada akhirnya, disaat yang paling tepat, kau menemukanku kembali. Merawatku bak bunga yang kau sirami setiap senja. Yang siap kau petik saat mekar nanti. 

Terima kasih telah menemukanku.

Kau boleh pergi dari tempat ini.

Namun memori kita abadi di sini.

Terima kasih telah datang.

Hati-hati di jalan pulang.

Sampai jumpa esok hari.


Palembang, 25 Juni 2021. 

Comments

Popular posts from this blog

Dia yang Membentuk Diri Gue yang Sekarang

yang tak sampai